Rabu, 01 Desember 2010

Jangan benci aku, Mama

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,

wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,

memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak

ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang

lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan.

Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya

membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun

melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya

menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga

Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan

membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa

stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu

melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu

menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4

tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang

yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan

membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung

kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya

tinggalkan begitu saja.

Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual

untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah

berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa.

Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad,

sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati,

berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama

putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan

tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak.

Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya.

Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu

cekali pada Mommy!"

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,

"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"

"Nama saya Elic, Tante."

"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai

perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga.

Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti

sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari

betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat

itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi

jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba

bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan

menjemputmu Eric...

Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad

dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang

sebenarnya terjadi?"

"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang

telah saya lakukan dulu." tetapi aku menceritakannya juga dengan

terisak-isak. ..

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang

begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar

dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat

pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai

teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya

dan Eric.. Eric...

Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih

saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang

terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun!

Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil
itu.

Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong

kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya

mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali

potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan

Eric sehari-harinya. ..

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun

keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu

saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil

untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di

belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap

sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.

Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala

ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan

seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"

Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!

Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini,

Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena

tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal

bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai

pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti

itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini.

Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk

menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...

"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy

marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus

berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."

Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan...

katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!

Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"

Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang,

Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini.

Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia

rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya.

Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila

melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-

nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya

yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.

Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar